2.1 Definisi Berfikir Ilmiah
Berpikir Ilmiah
Sebelum lebih jauh
menjelaskan apa yang dimaksud berpikir ilmiah, ada baiknya lebih dahulu kita
ketahui arti per kata dari kelompok kata tersebut. Pertama kata berpikir. Berpikir adalah menggunakan
akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan menurut
Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk-beluknya,
berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah. Menurut Anita
Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Jadi berpikir
merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal budi dalam memahami,
mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan memikirkan sesuatu
dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada sebuah
kesimpulan yang benar.
Sedangkan Ilmiah yakni
“bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu
pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris.
Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena
didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara
mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam.10 Berpikir rasional adalah
berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia
sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti
nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera
manusia.
Jadi memang tidak semua berpikir akan
mengahasilkan pengetahuan dan ilmu dan juga tidak semua berpikir disebut
berpikir ilmiah. Karena berpikir ilmiah memiliki aturan dan kaidah tersendiri
yang harus diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan sehingga proses berpikir
mereka bisa dikatakan sebagai produk ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi
khalayak ramai dan manusia pada umumnya. Jadi, berpikir ilmiah merupakan cara
berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika
tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris
2.2 Metode Berfikir Ilmiah
Pada hakikatnya, berpikir
secara ilmiah merupakan gabungan antara penalaran secara deduktif dan induktif.
Masing-masing penalaran ini berkaitan erat dengan rasionalisme atau empirisme.
Memang terdapat beberapa kelemahan berpikir secara rasionalisme dan empirisme,
karena kebenaran dengan cara bepikir ini bersifat relative atau tidak mutlak.
Oleh karena itu, seorang sarjana atau ilmuwan haruslah bersifat rendah hati dan
mengakui adanya kebenaran mutlak tidak bisa dijangkau oleh cara berpikir mutlak
yang bisa dijangkau oleh cara berpikir ilmiah. Selain secara deduktif dan induktif, ada metode
berpikir ilmiah yang lain adalah non-deduksi dimana menggabungkan antara
induksi dan deduksi. Dan yang terakhir adalah metode penyelidikan ilmiah.
1. Metode Deduktif
Metode deduktif adalah kebalikan dari
induktif. Kalau induktif bergerak dari hal – hal yang bersifat khusus ke umum,
maka metode deduktif sebaliknya, yaitu : bergerak dari hal-hal yang bersifat
umum (universal) kemudian atas dasar itu ditetapkan hal-hal yang bersifat
khusus. Cara deduksi ini banyak dipakai dalam logika klasik Aristoteles, yaitu
dalam membentuk Syllogisme yang menarik kesimpulan berdasarkan atas dua premis
mayor dan minor sebelumnya. Contohnya yang paling klasik :
·Semua manusia bisa mati
·Socrates adalah manusia
· Jadi, Socrates bisa mati
Berfikir deduktif memberikan
sifat yang rasional kepada pengetahuan
ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan
sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap
demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan
pengetahuan yang ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan
yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan yang tidak
teratur dapat diibaratkan sebagai ‘’rumah atau batu yang bercerai berai’’.
Secara konsisten dan koheren maka ilmu coba memberikan penjelsan yang rasional
kepada obyek yang berada dalm fokus penelahaan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria
kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab
sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistic, maka dimungkinkan
disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu.
Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis ilmiah yang telah
teruji kebenaran namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah
premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalampenyusunan argumentasi. Oleh
sebab itu maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan
kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa
suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan
itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang ditujuoleh
pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu. Sekiranya orang
menyatakan bahwa ‘’salju itu berwarna putih’’ maka pernyataan itu adalah benar
sekiranya terdapat kenyataan yeng mendukung isi pernyataan tersebut, yakni
bahwa dalam daerah pengalaman kita memang dapat diuji bahwasalju itu
benar-benar berwarna putih. Bagi mereka yang sudah bisa melihat salju maka
penguji semacam iini tidaklah terlalu berarti, namun bagi mereka yang belum
pernah melihat salju, maka pengujian secara empiris mempunyai suatu makna yang
lain. Hal ini akan mempunyai arti yang lebih lagi sekiranya seseorang
menyatakan umpamanya bahwa ‘’terdapat partikel x dalam atom yang sebelumnya
belum diketahui manusia’’.
Pengujian secara empiris dan
pernyataan semacam ini jelas bersifat
imperative, sebab bagaimana kita semua dapat mempercayai kebenaran pernyataan itu, bila tak ada seorang
pun yang melihat partikel X itu sebelumnya.
Keadaan seperti ini sering terjadi
dalam pengkajian masalah keilmuwan, yakni bila bila kita dihadapkan dengan
pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum kita kenali. Dan justru
disinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah yakni bahwa kita mengetahui
sesuatu yang belum pernah kita ketahui dalam pengkajian ilmiah sebagai
kesimpulan dalam penlaran deduktif. Kesimpulan yang ditarik seperti ini sering
memberikan kita pengetahuan yang belum kita kenal sebelumnya
2. Metode Induktif
Metode Induktif adalah suatu cara penganalisaan ilmiah yang
bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individu) menuju kepada hal yang
besifat umum (universal). Jadi cara induksi dimulai dari penelitian tehadap kenyataan
khusus satu demi satu kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi lalu
diakhiri dengan kesimpulan umum.
Proses Induksi di mulai dengan
peranan terhadap verifikasi atau pengujian hipotesis dimana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai
apakah sebuah hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses
penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah metode deduktif
kegiatannya adalah induktif.
Kita tidak mampu memecahkan masalah
hanya sambil bergoyang kaki di belakang meja sambil tengadah kelangit biru
mencari gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk menyusun hipotesis.
Penyusunan hipotesis di lakukan dengan pengamatan secara deduktif.
Langkah selanjutnya sesudah menyusun
hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dan membandingkannya dengan dunia
fisik yang nyata. Jadi cara induksi dimulai dari penelitian tehadap kenyataan
khusus satu demi satu kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi lalu
diakhiri dengan kesimpulan umum.
Metode induksi ini memang paling
banyak digunakan oleh ilmu pengetahaun, utamanya ilmu pengetahuan alam, yang
dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi metode ini
berdasarkan kepada fakta – fakta yagn dapat diuji kebenarannya.
3.
Metode Nondeduksi
Metode nondeduksi merupakan gabungan
dari metode deduksi dan metode induksi. Apabila kita menggunakan metode
analisis, dalam babak terakhir kita memperoleh pengetahuan analitik apriori dan
pengetahuan analitik aposteriori.
Metode analisis ialah cara penanganan
terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan pengertian
yang satu dengan yang lainnya. Pengertian analisis apriori misalnya, definisi
segitiga mengatakan bahwa segitiga itu merupakan suatu bidang yang dibatasi
oleh tiga garis lurus saling beririsan yang membentuk sudut sejumlah 180
derajat.
Pengetahuan analisis aposteriori
berarti bahwa kita menerapakan metode analisis terhadap suatu bahan yang
terdapat di dalam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari memperoleh sesuatu
pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah kursi yang ada,
kemudian kita berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi itu?
Definisinya misalnya, kursi adalah perabotan kantor atau rumah tangga yang
khusus di sediakan untuk tempat duduk.Pengetahuan yang di peroleh dengan yang
menerapkan metode sintesis dapat berupa pengetahuan sintetis apriori dan
pengetahuan sintetis aposteriori.
Metode sintesis ialah cara penanganan
terhadap suatu objek tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu
dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru.
Pengetahuan sintesis apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu di tambah empat
sama dengan lima. Aposteriori menunjukan kepada hal-hal yang adanya berdasarkan
atau bterdapat melalui pengalaman atau dapat di buktiakan dengan melakukan yang
di tangkap oleh indrawi. Pengetahuan sintesis aposteriori itu merupakan
pengetahuan yang di peroleh dengan cara mengabung-gabungkan pengertian yang
satu dengan pengertian yang lain menyangkut hal-hal yang terdapat dalam alam
tangkapan indrawi atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
Metode deduksi ialah metode yang cara
penangananya terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan
mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas ketentuan hal-hal yang
bersifat umum.
Metode induksi ialah cara penanganan
terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat
umum atau yang bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan
terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus.
4.
Metode Penyelidikan Ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat di
bagi menjadi dua, metode pendidikan berbentuk daur/metode siklus empiris atau
metode vertikal atau yang berbentuk garis lemmpeng/metode linier. Yang
dinamakan metode siklus empiris ialah suatu cara penanganan terhadap seseatu
objek ilmiah tertentu yang biasnya bersifat empiris-kealaman dan penerapanya
terjadi di tempat yang tertutup, seperti di dal laboratorium, dan sebagainya.
Secara singkat dapatlah dikatakan
bahwa penerapan metode siklus-empiris itu berupa, pertama-tama pengamatan
terhadap sejumlah hal atau kasus yang sejenis, kemudian berdasarkan atas
pengamatan itu kita menarik kesimpilan yang bersifat sementara berupa
‘hipotesa-hipotesa’ dan dalam nabak terakhir, kita mengadakan terhadap hipotesa
itu dalam eksperimen-eksperimen. Apabila kiata sudah berulan-ulang mengadakan
eksperimen dan hasilnya juga sama, artinya menunjukan hipotesa itu mengandung
kebenaran maka dalam hal ini berarti bahwa hipotesa tersebut telah di kukuhkan
kebenaranya.
Jika sifat atau objeknya begitu pentingnya,
orang melakukan kajian-kajian lebih lanjut. Apabila ternyata hipotesa tersebut
bisa bertahan maka dapatlah hipotesa yang bersangkutan ditingkatkan martabatnya
menjadi teori-teori.
Akan tetapi, apabila ternyata halnya
atau objeknya di pandan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, dengan
melakukan kajian-kajian berikutnya dapatlah teori-teori yang bersangkutan(bila
dapat bertahan) ditingkatkan menjadi ‘hukum-hukum alam’. Dalam hal ini berarti
bahwa isi kebenaran dari isi teori-teori tersebut telah diperiksa sekali lagi
atau telah di teliti secara dalam mengenai isi kebenaranya (vertifikasi
terhadap teori-teori).
Dengan demikian, dapatlah dikatakan
bahwa manakalah kita menerapkan metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk
daur/metode siklus-empiris, maka pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan
berupa hipotesa,teori, dan hukum-hukum alam.
Metode vertikal/berbentuk garis tegak
lurus atau mmetode linier/ berbentuk garis lempeng yang digunakan dalam
penyelidikan yang pada umumnya mempunyai objek materinya hal-hal yang ada pada
dasarnya bersifat kewajiban, yaitu yang lazimnya berupa atau terjema dalm
tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan seperti dalam bidang
politik,ekonomi,sosial dan sebagainya.Penerapan metode semacam ini apabila dikatakan
mengambil bentuk garis tegak lurus berarti suatu proses bertahap, dan apabila
dikatakan mengambil bentuk garis lempeng berarti proses yang bersifat setapak
demi setapak.
Penerapan metode ini diawali dengan
pengumpulan bahan penyelidikan secukupnya, kemudian bahan yang masuk tadi
dikelompokan menurut suatu pola atau bagan tertentu. Dalam babak terakhir kita
menarik kesimpulan yang umum berdasarkan atas pengelompokan bahan semacam itu
dan apabila dipandang perlu kita dapat pula mengadakan peramalan/prediksi yang
menyangkut objek penyelidikan yang bersangkutan. Penyelididkan semaam ini
biasanya dilakukan di alam bebas atau alam terbuka, yaitu kelompok manusia
tertentu.
2.3 Langkah-langkah Berpikir Ilmiah
Bagaimanapun juga
berpikir ilmiah tetap menggunakan atau memakai proses berpikir ilmiah sebagai
salah satu syarat untuk dikatakan bahwa apa yang dipikirkan termasuk dalam
kerangka berpikir ilmiah. Adapun proses berpikir ilmiah menurut Sudjana
menempuh langkah-langkah tertentu yang disanggah oleh tiga unsur pokok, yakni
pengajuan masalah, perumusan hipotesis, dan verifikasi data.
Menurut Jujun ada lima
langkah dalam kerangka berpikir ilmiah. Pertama merumuskan masalah, kedua
menyusun kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, ketiga merumuskan
hipotesis, keempat menguji hipotesis dan langkah terakhir adalah menarik suatu
kesimpulan. Demikian pula menurut Nazir penelitian menggunakan metode ilmiah
sekurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut : (1) merumuskan
serta mendefinisikan masalah, (2) mengadakan studi kepustakaan, (3)
memformulasikan hipotesa, (4) menentukan model untuk menguji hipotesa, (5)
mengumpulkan data, (6) menyusun, menganalisa dan memberikan interpretasi, (7)
membuat generalisasi kesimpulan.
Jadi dari pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya langkah-langkah atau taraf
berpikir ilmiah dimulai dengan munculnya sebuah masalah yang kemudian disusun
dalam suatu bentuk rumusan masalah, selanjutnya memberikan suatu solusi
pemecahannya dalam bentuk jawaban atau kesimpulan yang bersifat sementara
terhadap pertanyaan atau permasalahan yang diajukan, setelah itu menentukan
cara yang benar untuk menguji hipotesis dengan mengumpulkan data-data dan
fakta-fakta empiris yang relevan dengan hipotesis yang diajukan sehingga akan
menampakkan apakah benar terdapat fakta dan data nyata tersebut atau tidak.
Terakhir dapat ditarik sebuah kesimpulan apakah betul sebuah hipotesis yang
telah diajukan itu ditolak atau bahkan diterima, berdasarkan data dan fakta yang ada, bukan
berlandaskan terhadap opini atau asumsi.
Berikut penjelasan
langkah-langkah berpikir ilmiah dari dengan didukung pendapat para ahli.Langkah pertama dalam kerangka berpikir
ilmiah adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hulu dari
penelitian, dan merupakan langkah yang penting dan pekerjaan yang sulit dalam
penelitian ilmiah. Penting karena rumusan masalah adalah ibarat pondasi rumah
atau bangunan, tempat berpijak awal, apabila salah menentukan dan tidak jelas
batasan dalam melakukan akan menyulitkan proses selanjutnya. Diantaranya akan
menyulitkan seseorang atau pembaca dalam memahami kejelasan judul, sehingga
membuat pembaca memahaminya dengan multi tafsir, oleh karena itu kejelasan
judul perlu dituangkan dalam perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan
pedoman dasar yang kuat bagi pelaksanaan penelitian. Khususnya untuk menyusun
butir-butir pertanyaan dalam alat (instrumen), angket, pedoman wawancara,
pedoman menelusur dokumen dan sebagainya dan
membatasi permasalahan yang akan diteliti.
Dalam perumusan masalah
seorang peneliti dituntut untuk teliti dan cermat menentukan batasan-batasan
sebuah masalah yang akan diteliti sehingga tidak membuat kabur permasalahan
yang diteliti. Perumusan masalah umumnya dan biasanya disusun dalam bentuk
kalimat tanya, rumusan harus jelas dan berisi implikasi adanya data untuk
memecahkan atau menyelesaikan masalah, rumusan masalah juga harus merupakan
dasar dalam membuat hipotesa dan menjadi dasar bagi judul suatu kegiatan
penelitian.
Langkah berikutnya perumusan hipotesis. “Hypo” artinya dibawah dan “thesa”
artinya kebenaran. Dalam bahasa Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang
menjadi hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
Pendapat lain mengatakan
bahwa hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang
diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskan.21 Oleh karena itulah, suatu
hipotesis mesti dikembang dari suatu teori terpercaya. Jika hipotesis itu telah
teruji oleh data empirik dan ternyata benar, maka jadilah hipotesa itu menjadi
teori atau tesis. Karena berdasarkan isi dan rumusannya hipotesis dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jenis hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis
nol (Ho).
Hipotesis alternatif atau
hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih, atau
menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada kelompok yang berbeda.
Sedangkan hipotesis nol (Ho) adalah kebalikan dari hipotesis alternatif, yaitu
menyatakan tidak adanya hubungan atau tidak adanya perbedaan antara dua
variabel atau lebih. Namun
biasanya dalam penelitian deskriptif biasanya hipotesis bertujuan untuk membuat
deskripsi mengenai hal yang diteliti, bukan bertujuan untuk menguji hipotesis. Setelah perumusan hipotesis langkah
selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan
pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut
atau tidak.23 Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu saja dengan
menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat mungkin,
karena dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan arah dan fokus
upaya pengumpulan dan penganalisaan data.
Jadi hipotesis adalah
usaha untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta
mendukung terhadap hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran
hipotesis tersebut atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena
tanpa ada proses pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit
penelitian tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Langkah terakhir dalam kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan.
Kesimpulan merupakan salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses
penelitian, kenapa demikian, karena dengan kesimpulan yang ada dalam suatu
penelitian akan menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu
berupa natijah hasil dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh dalam
penelitian, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
Sedangkan menurut
Suharsimi bahwa suatu kesimpulan bukan suatu karangan dari
pembicaraan-pembicaraan lain, melainkan hasil proses tertentu “menarik”, dalam
arti “memindahkan” sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.
Menarik sebuah kesimpulan
dalam suatu kegiatan penelitian tidak boleh sembarangan tanpa ada suatu data
atau fakta yang ada dan diperoleh dalam kegiatan penelitian. Jadi sebuah
kesalahan yang fatal apabila penarikan kesimpulan tanpa dilandasi dan
berdasarkan data atau fakta yang telah diperoleh, apalagi hanya berdasarkan
interpretasi dan opini seorang peneliti.
Seharusnya kesimpulan itu
menjawab permasalahan yang ada dalam kegiatan penelitian, sehingga antara
hipotesis, permasalahan sangat
berhubungan erat dengan kesimpulan. Maksudnya adalah penarikan kesimpulan tidak
akan jelas, jika tidak ada data dan fakta yang menjawab sementara dari
persoalan atau permasalahan yang telah ditentukan, yang sering disebut dalam
istilah penelitian dengan hipotesis. Sehingga terlihat dengan jelas hubungan
antara permasalahan, hipotesis dan kesimpulan.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berpikir ilmiah merupakan cara
berpikir yang memiliki dan menggunakan cara dan aturan tertentu dimulai dari
adanya sebuah masalah sampai pada langkah terakhir dengan sebuah penarikan
kesimpulan.
Tidak semua berpikir bisa dikatakan
berpikir ilmiah, karena bagaimanapun juga berpikir ilmiah harus menggunakan
metode atau cara serta aturan tertentu
yang telah ditetapkan. Setiap manusia berhak untuk berpikir namun hanya manusia
yang memiliki ilmu pengetahuanlah yang bisa berpikir baik rasional dan kritis
dalam memahami dan memecahkan permasalahan.
Proses berpikir ilmiah itu melalui
beberapa tahapan atau rangkaian kerangka berpikir ilmiah, dengan menggunakan
pedoman atau kerangka berpikir ilmiah tentunya akan menghasilkan suatu
pengetahuan yang berguna bagi manusia lainnya atau masyarakat pada umumnya,
bukankah orang yang paling bermanfaat di muka bumi adalah manusia yang paling
bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dengan fungsinya manusia sebagai
khalifah fil ardi maka untuk mengawal alam jagad raya ini manusia harus
memaksimalkan otak dan pikirannya didalam memikirkan dan manalar sesuatu dengan
pedoman, acuan atau kerangka berpikir ilmiah. Sehingga bisa menjaga alam jagad
raya ini dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Yogyakarta : Rineka
Cipta, 1992.
Arifin, Tatang. M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar