Jumat, 19 Desember 2014

BERFIKIR ILMIAH



2.1  Definisi Berfikir Ilmiah
Berpikir Ilmiah
Sebelum lebih jauh menjelaskan apa yang dimaksud berpikir ilmiah, ada baiknya lebih dahulu kita ketahui arti per kata dari kelompok kata tersebut. Pertama  kata berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan menurut Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk-beluknya, berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah. Menurut Anita Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Jadi berpikir merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal budi dalam memahami, mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan memikirkan sesuatu dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada sebuah kesimpulan yang benar.

Sedangkan Ilmiah yakni “bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam.10 Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.
Jadi  memang tidak semua berpikir akan mengahasilkan pengetahuan dan ilmu dan juga tidak semua berpikir disebut berpikir ilmiah. Karena berpikir ilmiah memiliki aturan dan kaidah tersendiri yang harus diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan sehingga proses berpikir mereka bisa dikatakan sebagai produk ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi khalayak ramai dan manusia pada umumnya. Jadi, berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris
2.2   Metode Berfikir Ilmiah
Pada hakikatnya, berpikir secara ilmiah merupakan gabungan antara penalaran secara deduktif dan induktif. Masing-masing penalaran ini berkaitan erat dengan rasionalisme atau empirisme. Memang terdapat beberapa kelemahan berpikir secara rasionalisme dan empirisme, karena kebenaran dengan cara bepikir ini bersifat relative atau tidak mutlak. Oleh karena itu, seorang sarjana atau ilmuwan haruslah bersifat rendah hati dan mengakui adanya kebenaran mutlak tidak bisa dijangkau oleh cara berpikir mutlak yang bisa dijangkau oleh cara berpikir ilmiah. Selain secara deduktif dan induktif, ada metode berpikir ilmiah yang lain adalah non-deduksi dimana menggabungkan antara induksi dan deduksi. Dan yang terakhir adalah metode penyelidikan ilmiah.
1.      Metode Deduktif
Metode deduktif adalah kebalikan dari induktif. Kalau induktif bergerak dari hal – hal yang bersifat khusus ke umum, maka metode deduktif sebaliknya, yaitu : bergerak dari hal-hal yang bersifat umum (universal) kemudian atas dasar itu ditetapkan hal-hal yang bersifat khusus. Cara deduksi ini banyak dipakai dalam logika klasik Aristoteles, yaitu dalam membentuk Syllogisme yang menarik kesimpulan berdasarkan atas dua premis mayor dan minor sebelumnya. Contohnya yang paling klasik :
·Semua manusia bisa mati
·Socrates adalah manusia
· Jadi, Socrates bisa mati
Berfikir deduktif memberikan sifat  yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai ‘’rumah atau batu yang bercerai berai’’. Secara konsisten dan koheren maka ilmu coba memberikan penjelsan yang rasional kepada obyek yang berada dalm fokus penelahaan.
Penjelasan  yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistic, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis ilmiah yang telah teruji kebenaran namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalampenyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang ditujuoleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu. Sekiranya orang menyatakan bahwa ‘’salju itu berwarna putih’’ maka pernyataan itu adalah benar sekiranya terdapat kenyataan yeng mendukung isi pernyataan tersebut, yakni bahwa dalam daerah pengalaman kita memang dapat diuji bahwasalju itu benar-benar berwarna putih. Bagi mereka yang sudah bisa melihat salju maka penguji semacam iini tidaklah terlalu berarti, namun bagi mereka yang belum pernah melihat salju, maka pengujian secara empiris mempunyai suatu makna yang lain. Hal ini akan mempunyai arti yang lebih lagi sekiranya seseorang menyatakan umpamanya bahwa ‘’terdapat partikel x dalam atom yang sebelumnya belum diketahui manusia’’.
Pengujian secara empiris dan pernyataan semacam ini jelas bersifat  imperative, sebab bagaimana kita semua dapat mempercayai  kebenaran pernyataan itu, bila tak ada seorang pun yang melihat partikel X itu sebelumnya.
Keadaan seperti ini sering terjadi dalam pengkajian masalah keilmuwan, yakni bila bila kita dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum kita kenali. Dan justru disinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah yakni bahwa kita mengetahui sesuatu yang belum pernah kita ketahui dalam pengkajian ilmiah sebagai kesimpulan dalam penlaran deduktif. Kesimpulan yang ditarik seperti ini sering memberikan kita pengetahuan yang belum kita kenal sebelumnya
2.      Metode Induktif
Metode Induktif  adalah suatu cara penganalisaan ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individu) menuju kepada hal yang besifat umum (universal). Jadi cara induksi dimulai dari penelitian tehadap kenyataan khusus satu demi satu kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi lalu diakhiri dengan kesimpulan umum.
Proses Induksi di mulai dengan peranan terhadap verifikasi atau pengujian hipotesis dimana  dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah metode deduktif kegiatannya adalah induktif.
Kita tidak mampu memecahkan masalah hanya sambil bergoyang kaki di belakang meja sambil tengadah kelangit biru mencari gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk menyusun hipotesis. Penyusunan hipotesis di lakukan dengan pengamatan secara deduktif.
Langkah selanjutnya sesudah menyusun hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dan membandingkannya dengan dunia fisik yang nyata. Jadi cara induksi dimulai dari penelitian tehadap kenyataan khusus satu demi satu kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi lalu diakhiri dengan kesimpulan umum.
Metode induksi ini memang paling banyak digunakan oleh ilmu pengetahaun, utamanya ilmu pengetahuan alam, yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi metode ini berdasarkan kepada fakta – fakta yagn dapat diuji kebenarannya.
3.      Metode Nondeduksi
Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi. Apabila kita menggunakan metode analisis, dalam babak terakhir kita memperoleh pengetahuan analitik apriori dan pengetahuan analitik aposteriori.
Metode analisis ialah cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan pengertian yang satu dengan yang lainnya. Pengertian analisis apriori misalnya, definisi segitiga mengatakan bahwa segitiga itu merupakan suatu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus saling beririsan yang membentuk sudut sejumlah 180 derajat.
Pengetahuan analisis aposteriori berarti bahwa kita menerapakan metode analisis terhadap suatu bahan yang terdapat di dalam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah kursi yang ada, kemudian kita berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi itu? Definisinya misalnya, kursi adalah perabotan kantor atau rumah tangga yang khusus di sediakan untuk tempat duduk.Pengetahuan yang di peroleh dengan yang menerapkan metode sintesis dapat berupa pengetahuan sintetis apriori dan pengetahuan sintetis aposteriori.
Metode sintesis ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan sintesis apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu di tambah empat sama dengan lima. Aposteriori menunjukan kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau bterdapat melalui pengalaman atau dapat di buktiakan dengan melakukan yang di tangkap oleh indrawi. Pengetahuan sintesis aposteriori itu merupakan pengetahuan yang di peroleh dengan cara mengabung-gabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain menyangkut hal-hal yang terdapat dalam alam tangkapan indrawi atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
Metode deduksi ialah metode yang cara penangananya terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas ketentuan hal-hal yang bersifat umum.
Metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau yang bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus.
4.      Metode Penyelidikan Ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat di bagi menjadi dua, metode pendidikan berbentuk daur/metode siklus empiris atau metode vertikal atau yang berbentuk garis lemmpeng/metode linier. Yang dinamakan metode siklus empiris ialah suatu cara penanganan terhadap seseatu objek ilmiah tertentu yang biasnya bersifat empiris-kealaman dan penerapanya terjadi di tempat yang tertutup, seperti di dal laboratorium, dan sebagainya.
Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa penerapan metode siklus-empiris itu berupa, pertama-tama pengamatan terhadap sejumlah hal atau kasus yang sejenis, kemudian berdasarkan atas pengamatan itu kita menarik kesimpilan yang bersifat sementara berupa ‘hipotesa-hipotesa’ dan dalam nabak terakhir, kita mengadakan terhadap hipotesa itu dalam eksperimen-eksperimen. Apabila kiata sudah berulan-ulang mengadakan eksperimen dan hasilnya juga sama, artinya menunjukan hipotesa itu mengandung kebenaran maka dalam hal ini berarti bahwa hipotesa tersebut telah di kukuhkan kebenaranya.
Jika sifat atau objeknya begitu pentingnya, orang melakukan kajian-kajian lebih lanjut. Apabila ternyata hipotesa tersebut bisa bertahan maka dapatlah hipotesa yang bersangkutan ditingkatkan martabatnya menjadi teori-teori.
Akan tetapi, apabila ternyata halnya atau objeknya di pandan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, dengan melakukan kajian-kajian berikutnya dapatlah teori-teori yang bersangkutan(bila dapat bertahan) ditingkatkan menjadi ‘hukum-hukum alam’. Dalam hal ini berarti bahwa isi kebenaran dari isi teori-teori tersebut telah diperiksa sekali lagi atau telah di teliti secara dalam mengenai isi kebenaranya (vertifikasi terhadap teori-teori).
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa manakalah kita menerapkan metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk daur/metode siklus-empiris, maka pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan berupa hipotesa,teori, dan hukum-hukum alam.
Metode vertikal/berbentuk garis tegak lurus atau mmetode linier/ berbentuk garis lempeng yang digunakan dalam penyelidikan yang pada umumnya mempunyai objek materinya hal-hal yang ada pada dasarnya bersifat kewajiban, yaitu yang lazimnya berupa atau terjema dalm tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan seperti dalam bidang politik,ekonomi,sosial dan sebagainya.Penerapan metode semacam ini apabila dikatakan mengambil bentuk garis tegak lurus berarti suatu proses bertahap, dan apabila dikatakan mengambil bentuk garis lempeng berarti proses yang bersifat setapak demi setapak.
Penerapan metode ini diawali dengan pengumpulan bahan penyelidikan secukupnya, kemudian bahan yang masuk tadi dikelompokan menurut suatu pola atau bagan tertentu. Dalam babak terakhir kita menarik kesimpulan yang umum berdasarkan atas pengelompokan bahan semacam itu dan apabila dipandang perlu kita dapat pula mengadakan peramalan/prediksi yang menyangkut objek penyelidikan yang bersangkutan. Penyelididkan semaam ini biasanya dilakukan di alam bebas atau alam terbuka, yaitu kelompok manusia tertentu.

2.3  Langkah-langkah Berpikir Ilmiah
Bagaimanapun juga berpikir ilmiah tetap menggunakan atau memakai proses berpikir ilmiah sebagai salah satu syarat untuk dikatakan bahwa apa yang dipikirkan termasuk dalam kerangka berpikir ilmiah. Adapun proses berpikir ilmiah menurut Sudjana menempuh langkah-langkah tertentu yang disanggah oleh tiga unsur pokok, yakni pengajuan masalah, perumusan hipotesis, dan verifikasi data.
Menurut Jujun ada lima langkah dalam kerangka berpikir ilmiah. Pertama merumuskan masalah, kedua menyusun kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, ketiga merumuskan hipotesis, keempat menguji hipotesis dan langkah terakhir adalah menarik suatu kesimpulan. Demikian pula menurut Nazir penelitian menggunakan metode ilmiah sekurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut : (1) merumuskan serta mendefinisikan masalah, (2) mengadakan studi kepustakaan, (3) memformulasikan hipotesa, (4) menentukan model untuk menguji hipotesa, (5) mengumpulkan data, (6) menyusun, menganalisa dan memberikan interpretasi, (7) membuat generalisasi kesimpulan.
Jadi dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya langkah-langkah atau taraf berpikir ilmiah dimulai dengan munculnya sebuah masalah yang kemudian disusun dalam suatu bentuk rumusan masalah, selanjutnya memberikan suatu solusi pemecahannya dalam bentuk jawaban atau kesimpulan yang bersifat sementara terhadap pertanyaan atau permasalahan yang diajukan, setelah itu menentukan cara yang benar untuk menguji hipotesis dengan mengumpulkan data-data dan fakta-fakta empiris yang relevan dengan hipotesis yang diajukan sehingga akan menampakkan apakah benar terdapat fakta dan data nyata tersebut atau tidak. Terakhir dapat ditarik sebuah kesimpulan apakah betul sebuah hipotesis yang telah diajukan itu ditolak atau bahkan diterima,  berdasarkan data dan fakta yang ada, bukan berlandaskan terhadap opini atau asumsi.
Berikut penjelasan langkah-langkah berpikir ilmiah dari dengan didukung pendapat para ahli.Langkah pertama dalam kerangka berpikir ilmiah adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hulu dari penelitian, dan merupakan langkah yang penting dan pekerjaan yang sulit dalam penelitian ilmiah. Penting karena rumusan masalah adalah ibarat pondasi rumah atau bangunan, tempat berpijak awal, apabila salah menentukan dan tidak jelas batasan dalam melakukan akan menyulitkan proses selanjutnya. Diantaranya akan menyulitkan seseorang atau pembaca dalam memahami kejelasan judul, sehingga membuat pembaca memahaminya dengan multi tafsir, oleh karena itu kejelasan judul perlu dituangkan dalam perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan pedoman dasar yang kuat bagi pelaksanaan penelitian. Khususnya untuk menyusun butir-butir pertanyaan dalam alat (instrumen), angket, pedoman wawancara, pedoman menelusur dokumen dan sebagainya dan  membatasi permasalahan yang akan diteliti.
Dalam perumusan masalah seorang peneliti dituntut untuk teliti dan cermat menentukan batasan-batasan sebuah masalah yang akan diteliti sehingga tidak membuat kabur permasalahan yang diteliti. Perumusan masalah umumnya dan biasanya disusun dalam bentuk kalimat tanya, rumusan harus jelas dan berisi implikasi adanya data untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah, rumusan masalah juga harus merupakan dasar dalam membuat hipotesa dan menjadi dasar bagi judul suatu kegiatan penelitian.
Langkah berikutnya perumusan hipotesis. “Hypo” artinya dibawah dan “thesa” artinya kebenaran. Dalam bahasa Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
Pendapat lain mengatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskan.21 Oleh karena itulah, suatu hipotesis mesti dikembang dari suatu teori terpercaya. Jika hipotesis itu telah teruji oleh data empirik dan ternyata benar, maka jadilah hipotesa itu menjadi teori atau tesis. Karena berdasarkan isi dan rumusannya hipotesis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jenis hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nol (Ho).
Hipotesis alternatif atau hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih, atau menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada kelompok yang berbeda. Sedangkan hipotesis nol (Ho) adalah kebalikan dari hipotesis alternatif, yaitu menyatakan tidak adanya hubungan atau tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau lebih. Namun biasanya dalam penelitian deskriptif biasanya hipotesis bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai hal yang diteliti, bukan bertujuan untuk menguji hipotesis. Setelah perumusan hipotesis langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.23 Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu saja dengan menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat mungkin, karena dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan arah dan fokus upaya pengumpulan dan penganalisaan data.
Jadi hipotesis adalah usaha untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta mendukung terhadap hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran hipotesis tersebut atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa ada proses pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Langkah terakhir dalam kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian, karena dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan  dalam perumusan masalah.
Sedangkan menurut Suharsimi bahwa suatu kesimpulan bukan suatu karangan dari pembicaraan-pembicaraan lain, melainkan hasil proses tertentu “menarik”, dalam arti “memindahkan” sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.
Menarik sebuah kesimpulan dalam suatu kegiatan penelitian tidak boleh sembarangan tanpa ada suatu data atau fakta yang ada dan diperoleh dalam kegiatan penelitian. Jadi sebuah kesalahan yang fatal apabila penarikan kesimpulan tanpa dilandasi dan berdasarkan data atau fakta yang telah diperoleh, apalagi hanya berdasarkan interpretasi dan opini seorang peneliti.
Seharusnya kesimpulan itu menjawab permasalahan yang ada dalam kegiatan penelitian, sehingga antara hipotesis, permasalahan  sangat berhubungan erat dengan kesimpulan. Maksudnya adalah penarikan kesimpulan tidak akan jelas, jika tidak ada data dan fakta yang menjawab sementara dari persoalan atau permasalahan yang telah ditentukan, yang sering disebut dalam istilah penelitian dengan hipotesis. Sehingga terlihat dengan jelas hubungan antara permasalahan, hipotesis dan kesimpulan.






























BAB III PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki dan menggunakan cara dan aturan tertentu dimulai dari adanya sebuah masalah sampai pada langkah terakhir dengan sebuah penarikan kesimpulan.
Tidak semua berpikir bisa dikatakan berpikir ilmiah, karena bagaimanapun juga berpikir ilmiah harus menggunakan metode atau  cara serta aturan tertentu yang telah ditetapkan. Setiap manusia berhak untuk berpikir namun hanya manusia yang memiliki ilmu pengetahuanlah yang bisa berpikir baik rasional dan kritis dalam memahami dan memecahkan permasalahan.
Proses berpikir ilmiah itu melalui beberapa tahapan atau rangkaian kerangka berpikir ilmiah, dengan menggunakan pedoman atau kerangka berpikir ilmiah tentunya akan menghasilkan suatu pengetahuan yang berguna bagi manusia lainnya atau masyarakat pada umumnya, bukankah orang yang paling bermanfaat di muka bumi adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dengan fungsinya manusia sebagai khalifah fil ardi maka untuk mengawal alam jagad raya ini manusia harus memaksimalkan otak dan pikirannya didalam memikirkan dan manalar sesuatu dengan pedoman, acuan atau kerangka berpikir ilmiah. Sehingga bisa menjaga alam jagad raya ini dengan baik dan benar.









DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Yogyakarta : Rineka Cipta, 1992.

Arifin, Tatang. M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar